Rabu, 19 Juni 2013

Cerpen untuk sahabat


Kringg… kringg.. kringg..
Hoamm.. rasa mengantuk di mataku masih teramat dalam aku rasakan. Insomnia telah melandaku akhir-akhir ini. Membuat hariku yang seharusnya cerah berubah menjadi kemalasan yang kadang sulit untuk aku bendung. Rasanya ingin aku minum minuman untuk penambah ion tubuh sebanyak-banyaknya. Atau bila perlu akan ku bawa pabriknya ke dalam kamarku sehingga aku tidak merasa malas saat bangun pagi. Hah, khayalan orang yang terlalu suka bemimpi yang tidak-tidak. hhehe… Yupz.. jam telah menunjukkan jarum-jarum mungilnya ke arah jam 05.00 WIB. Waktunya untuk bangun dan sesegera mungkin mengambil air wudhu kemudian melaksanakan shalat, lalu sedikit membantu pekerjaan rumah, mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Ingat kata sekolah tiba-tiba aku sedikit mulai bersemangat kembali. Kalian tau apa yang membuat aku semangat? Ehm sahabatku, Seila dan Lucia. Sahabat-sahabatku yang memberikan warna tersendiri di hidupku. Walaupun sebetulnya Seila itu…
Wow, jam telah menunjukkan 06.20 menit, hanya ada waktu 15 menit untukku agar tidak terkena guru tatib yang kadang hukumannya membuat aku badmood satu hari penuh tanpa cela satu menitpun.. hhaha.. lebay dikit. :D . Setelah berpamitan segera aku berangkat sekolah dengan langkah yang sedikit tergesa, tapi syukurlah, waktu masih bepihak kepadaku hari ini. Segera aku masuk ke dalam kelas dan menyapa sahabat-sahabatku, Seila dan Lucia. Jam pelajaran berlangsung. Tak terasa bel istirahat berbunyi. Aku bersama sahabat-sahabatku pergi menikmati jajanan kue di kantin.
“Ehh, vanny sudah masuk tuh, yuk ke kelas”, ajak Lucia kepadaku.
“Yuk.. capcuss.. hhehehe” jawabku sambil sedikit bercanda.
Lima, sepuluh, dua belas menit kami menunggu guru pelajaran selanjutnya, tapi tak kunjung datang. Ketua kelas kami pun telah berusaha mencarinya. Yah bisa di ambil kesimpulan bahwa sekarang adalah waktunya jam kosong. Waktu di mana yang membuat sebagian besar anak merasa senang, salah satunya aku, yang memang sedikit bandel dalam urusan pelajaran.. hhehe.. maklum. masa-masa kenakalan remaja yang wajar bukan? Tapi jangan di tiru lho.. hhehe.
Tiba-tiba aku ingin menangis, tidak tau apa penyebabnya. Rasa sedih itu tiba-tiba muncul begitu saja dalam hatiku. Lucia yang melihat perubahan sikapku bertanya kepadaku, memastikan apa yang sedang terjadi padaku. Tanpa pkir panjang, segera ku peluk dia, dan kutumpahkan tangisku kepadanya.
“Vany, kamu kenapa?” tanyanya. Aku hanya diam. Membiarkan pertanyaanya mengambang begitu saja di otakku.
“Baiklah, menangislah dahulu, setelah kamu lega, kamu ceritakan masalahmu”, lanjutnya.
“Aku tidak tau Luci, tiba-tiba saja aku ingin menangis” jawabku sambil menahan tangis.
“Mungkin perasaanmu sedang kacau, menangislah jika menangis membuatmu terasa lega”
Sekali lagi, hanya Lucia yang menenangkan aku. Di mana Seila. Setiap aku menangis, dia tak ada untukku. Memang dia sering memberikan saran-saran baik untukku, namun sekali lagi. Hanya sekedar saran yang dia berikan, sedangkan aku juga butuh perhatiannya. Pikiran ini membuat aku merasa semakin kalut. Apakah ini yang dinamakan sahabat? Selama ini sudah cukup bersabar aku menghadapinya. Pernah pada satu kesempatan aku mengajukan protes terhadapnya atas sikapnya yang seperti itu. Dia meminta maaf tanpa pernah mencoba merubah sedikit sikap kurang pedulinya terhadapku. Kadang aku merasa dia lebih peduli terhadap teman-teman yang lain. Pernah aku berfikir bahwa dia kurang perhatian padaku karena aku tidak sepintar dia. Mungkin aku tidak memiliki kemampuan yang dapat membuat dia bangga terhadapku. Aku akui dia memang pintar dalam segala hal. Baik dalam pelajaran maupun dalam bidang seni lukis. Dia adalah pelukis kebanggaan sekolah kami. Berbagai kejuaraan lomba telah dia raih. Sungguh bertolak belakang denganku yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Namun dia pernah berkata kepadaku bahwa seorang sahabat harus selalu berfikir positif kepada sahabatnya dan saling percaya. Aku mencoba mengikuti ucapannya, meskipun kadang hati kecilku berusaha untuk memberontak sikapnya yang seperti itu. Kejadian seperti ini sudah terjadi di dalam setiap tangis yang aku keluarkan. Pernah aku berfikir apakah dia akan tetap tidak peduli saat aku sudah tidak ada di sampingnya lagi? Tapi segera ku tepis fikiran buruk itu jauh-jauh dari otakku.
Tangisku sedikit mulai mereda. Tak terasa sudah waktunya untuk pulang. Aku berkemas untuk segera menuju rumah dan ingin cepat-cepat membaringkan tubuh dengan pikiran penatku ini. Tak lupa ku ucapkan terima kasih kepada Lucia yang telah mengizinkan aku menangis di dalam pelukan persahabatannya.
Sesampai di rumah segera ku baringkan tubuhku. Malas rasanya untuk meyantap hidangan di meja makan. Hampir saja aku akan memulai dunia mimpiku ketika tiba-tiba ponsel handphone ku berdering dengan nyaring. Lucia. Ada apa dia meneleponku? bukankah selama ini dia tidak pernah menelepon kecuali ada urusan yang super duper penting. Perasaan tidak enak menyelinap di dalam hati kecilku. Segera ku angkat teleponnya.
“Hallo, Lucia. Ada apa?”
“Maaf van, mengganggu waktu istirahatmu. Tapi ini berita yang sangat penting. Tentang Seila.”
Segera aku bangkit dari tidurku. Jantungku berdegup sedikit kencang menanti berita apa yang akan disampaikan Lucia kepadaku.
“Seila kecelakaan. Dia sekarang di rumah sakit “Asih Husada” di ruang gawat darurat. Mama Seila yang mengabariku. Bersiaplah.. segera kita kesana.
Tut.. Tuut… Tutt… Telepon terputus. Tak terasa air mata mengalir begitu deras di pipiku. Seila, sahabatku sedang terbaring tak berdaya di sana. Menyesal rasanya telah berfikiran buruk kepadanya. Segera aku ganti pakaian dan berpamitan kepada mama ku yang bingung melihatku akan pergi dengan deraian air mata. Lalu aku jelaskan kepada mama, setelah itu segera ku memacu sepeda motor ku dengan sekencang mungkin menuju rumah Lucia untuk kemudian berangkat besama ke rumah sakit tempat Seila mempertaruhkan nyawanya.
Sesampainya di sana, ku lihat Mama Seila yang terlihat menangis histeris di dalam pelukan suaminya. Pikiran ku bertambah tak karuan. Segera aku menghampiri mereka dan bertanya bagaimana keadaan Seila.
“Akibat benturan yang keras mengakibatkan saraf matanya rusak, sehingga dia mengalami kebutaan. Dia akan bisa melihat kembali saat ada seseorang yang mau mendonorkan kornea matanya.” Ucap Papa Seila yang jelas membuat aku dan Lucia merasa lemas dan seakan ingin pingsan rasanya.
Kini Seila telah di pindah di ruang rawat inap. Aku dan Lucia masuk ke dalam ruang inapnya. Papa dan Mama Seila sedang berada di ruang dokter yang menangani Seila. Terlihat Seila menangis sejadi-jadinya.
“Seila, kamu harus sabar.” Kata Lucia perlahan.
“Gak Luci. Aku gak bisa dalam keadaan seperti ini. Apa gunanya aku hidup dengan kedua mata yang tidak dapat lagi melihat indahnya dunia. Mengapa Tuhan tak mencabut nyawaku saja dalam kecelakaan itu? Mengapa Dia berikan aku hidup tanpa mata? Mata yang menjadi nyawaku.” Kata Seila sambil menangis tersedu.
“Seila, Tuhan telah mempunyai rencana yang indah untukmu. Percayalah itu” Kataku berusaha membangkitkan semangatnya.
“Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku tanpa mata Vanny? Bagaimana aku bisa melukis keindahan objek yang ada? Bagaimana bisa? Lalu apa yang dapat dibanggakan dari diriku yang sekarang tak mempunyai arti lagi?”
“Hatimu. Hatimu yang dapat kami banggakan. Sikap kebaikan dari hatimu akan membuatmu tampak lebih berarti di mata orang-orang yang menyayangimu. Termasuk kami. Jangan pernah berfikiran mati adalah hal yang lebih baik saat ini. Janganlah kau jadikan dirimu yang cantik menjadi seorang pengecut yang lari dari kenyataan hidup. Bukankah kamu masih memiliki kami? Sahabat-sahabatmu yang akan selalu menjaga dan menemanimu dalam setiap suasana dan kondisimu. Tak peduli apapun yang terjadi padamu, kami tetap menyayangimu” Kataku panjang lebar sambil menahan tangis yang mungkin akan pecah sejadi-jadinya.
“Vanny.. Lucia.. terima kasih. Tanpa kalian aku tak tau apakah aku siap menjalani hari-hariku ini. Bagiku kehilangan kedua mata seperti ini lebih baik daripada aku harus kehilangan kedua orang sahabat seperti kalian. Maukah kalian menjadi mata yang lebih terang untukku?”
“Dengan senang hati sayang” jawab Lucia. Kemudian kami memeluk Seila dengan tangis sedih dan haru.
10 hari kemudian Seila sudah masuk sekolah kembali. Dia yang dulu ceria kini tampak lebih murung dan suka melamun. Kemanapun Seila mau, aku dan Lucia selalu ada di sampingnya. Menuntun di mana langkahnya harus berpijak. Batu sekecil apapun akan kami singkirkan dalam kehidupan Seila. Semua ini kami lakukan semata-mata karena kami tak ingin melihat Seila down dan terpuruk lagi. Tapi rupanya semangat juang dan usaha kami tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan Seila.
Pada suatu saat di hari yang agak mendung, terjadi hal yang menyebabkan Seila merasa hancur dan rapuh. Wali kelas kami menunjuk beberapa orang untuk mengikuti seleksi lomba melukis yang akan mewakili sekolah dalam lomba melukis tingkat Nasional. Lomba yang selama ini dinanti nantikan Seila. Begitu dia tahu dia tidak terpilih untuk mengikuti seleksi, sontak dia berdiri dan akan berlari. Tapi sayang matanya yang tidak lagi berfungsi menyebabkan kakinya tersandung meja hingga menyebabkan dia terjerembab ke lantai. Dengan gerakan refleks yang teramat sangat aku dan Lucia segera membantunya berdiri. Dia menangis. Menangis yang menyebabkan hati ku dan Lucia ikut terasa sakit. Kami peluk dia dengan kasih sayang kami. Kami curahkan semangat kami untuknya. Kami meminta ijin kepada wali kelas untuk keluar kelas. Kami akan tenangkan fikiran dan hati Seila. Wali kelas dengan baik hati dan penuh pengertian mengijinkan aku dan Lucia membawa Seila keluar kelas, menuju taman. Tempat yang kami rasa cukup bagus untuk menenangkan hati dan fikiran Seila.
Di taman kami berusaha membangkitkan kembali semangat Seila yang sekarang sedang down. Seila terus saja menangis. Kami tak bisa memaksanya untuk berhenti menangis. Wajar Seila bersikap demikian. Kami menyadari itu.
***
“Tidak vanny, papa dan mama tidak rela kau mendonorkan matamu untuk Seila. Itu adalah harta mu yang sangat berharga nak.” Kata mama menahan tangis
“Benar apa kata mamamu nak” lanjut papa.
“Tapi vanny tidak tega melihat Seila seperti itu. Gadis cantik, periang dan pintar harus kehilangan semangat hidupnya gara-gara kebutaannya. Vanny ikhlas papa, mama. Vanny tau mama, umur Vanny juga tidak akan lama lagi. Gangguan infeksi jantungku tak akan membuat aku bertahan lama ma. Jadi izinkan Vanny melakukan satu hal yang berarti sebelum Vanny mati ma, pa.
“Tidak Vanny! Papa tidak akan setuju. Titik!”
“Maaf kan mama nak, mama juga tidak akan mengabulkan permintaanmu kali ini”
Kemudian Papa dan Mama meninggalkanku dalam ketermenungan yang panjang. Tak sampai hati rasanya, melihat Seila sahabatku harus mengalami hal serupa.
Ya, aku memang seorang gadis penyakitan. Sejak kecil aku hanya hidup dengan obat. Jantungku mengalami gangguan yang membuatku merasa terkekang selama ini. Tak ada yag tau akan hal ini, kecuali keluargaku, termasuk Seila dan Luci yang tak pernah tau sedikitpun tentang hal ini. Pama, Mama andai kalian tau, aku sangat menderita hidup seperti ini. Jadi izinkan aku pergi pa, ma.. Vanny mohon…
***
Kubuka perlahan-lahan mataku. Tampak dinding ruangan berwarna putih bersih. Tak asing rasanya dengan tempat ini. Setelah kesadaranlu perlahan-lahan mulai kembali, baru aku menyadari, bahwa kini tubuhku sedang terbaring lemas tak berdaya. Kulihat Papa, Mama dan Kak Lina. Turut serta Kakek, Nenek, Tante, Om dan anggota keluarga yang lain. Lengkap. Ingin ku bicara kepada mereka dan ingin kutanyakan mengapa mereka harus bersusah payah berdiri di ruangan seperti ini hanya sekedar ingin melihatku terbaring. Namun rasanya tak lagi ku punya tenaga untuk itu. Namun aku tak menyerah, dengan suara yang lemah, aku memanggil Mama.
“Mama kenapa nangis? Vanny tidak apa-apa. Vanny baru saja bermimpi. Mimpi indah. Di dalam mimpi, Vanny tak merasakan sakit lagi ma. Vanny merasa sembuh. Mama mau kan ngizinin Vanny buat kembali ke mimpi itu? Vanny capek ma..”
“Iya nak. Vanny tidur saja. Kita semua sudah ikhlas kok.” Kata mama membohongi perasaannya sendiri. Aku tau itu.
“Papa, aku sayang Papa.. Kak Lina, aku sayang kakak juga. Maafin kalau selama ini aku sering bikin kesal Kakak. Aku sering merepotkan Kakak. Sering kakak harus terbangun tengah malam karena mendengar rintihanku. Tapi kakak tenang saja, Vanny bakalan sembuh kak.”
“Gak Van, kamu gak pernah ngrepotin kakak. Tapi kalau memang kamu ingin sembuh dan istirahat, maka kakak akan mengikhlaskanmu. Kakak sangat-sangat menyayangimu.” Jawab kakak dengan air mata yang menetes deras.
“Gadis kecilku yang kini beranjak dewasa, tidurlah nak, mimpilah dengan indah. Hingga kamu tak lagi merasakan sakit. Papa selalu berdoa yang terbaik untukmu nak”
“Papa, setelah Vanny tidur dalam mimpi indah Vanny, dan tak ingin pulang, Papa jangan marah ya? Oh iya pa, sampaikan salamku kepada Seila dan Lucia. Katakan aku menyayangi mereka. Dan tolong kabulkan keinginan Vanny yang terakhir ini pa, tolong donorkanlah mata Vanny ini untuk Seila, sahabat yang aku sayangi”
“Iya nak, akan papa lakukan” Jawab papa menahan bendung tangis kepedihan.
Kini tak kuat lagi rasanya untuk berkata. Ku tatap secara bergantian seluruh anggota keluargaku di sana. Ku lempar senyum termanis dalam hidupku kepada mereka. Payah, mereka tak membalas senyumku. Mereka malah menangis melihat senyumku. Andai kalian tahu, tak ingin rasanya aku melihat kalian semua menangis seperti ini. Tapi apa daya, tanganku tak mampu membasuh air mata itu, bibirku tak sanggup lagi menenangkan hati mereka. Lalu secara perlahan, mata ini mulai terpejam. Mata yang akan membawaku pada mimpi yang indah, dimana tak ada seorangpun yang mampu mengubah alur di dalam mimpiku. Mimpi yang membawaku kedamaian dan ketenangan yang sudah lama tak aku dapatkan di dalam hidupku.
***
Di waktu yang sama, tapi diruangan yang berbeda, terbaring Seila di atas ranjang putih bersih. Keadaannya menurus drastis. Menurut dokter, tekanan fikiran, membuat kesehatan Seila sangat memprihatinkan. Saat dokter sedang memeriksa keadaan Seila, datang salah satu perawatnya. Dia membawakan kabar gembira untuk Seila dan kedua orangtuanya. Kabar yang berisi tentang adanya pendonor mata untuk Seila. Dokterpun melangkah menuju ruangannya, diikuti papa Seila yang berjalan dengan membawa sedikit ketenangan dalam hatinya. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama, ketika dia tau siapa orang yang menunggu dokter dan dirinya di ruangan itu
“Rudi? Siapakah pak yang mendonorkan matanya untuk Seila?”
“Vanny Wan”
“Vanny? Jangan bodoh Rud, aku tau kita telah bersahabat lama begitupun anak-anak kita. Tapi aku tak ada sedikitpun rasa setuju jika yang mendonorkan matanya itu adalah Vanny, anakmu”
“Tapi tiulah permintaan terakhirnya.”
“Apa kamu bilang? Permintaan terakhir?”
“Vanny menderita infeksi jantung sejak dia berusia 5 tahun. Dan inilah batas kekuatannya menahan rasa sakit selama ini dalam hidupnya. Jadi tolonglah akau untuk mengabulkan permintaan terakhirnya”
“Astagfirullah.. Innalillahi wainailahi rojiun. Maafkan aku yang tak pernah tau kondisinya selama ini”
“Bagaimana ini Pak Rudi, Pak Gunawan? Apakah semua pihak sudah setuju? Jika sudah, maka kita segera lakukan operasi itu”
Hanya anggukan kepala yang menjawab pertanyaan dokter itu. Tak ada kata dari Papa ataupun Pak Rudi. Mereka hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
***
Perlahan-lahan Seila membuka matanya. Terlihat mata lentik itu berbinar cerah. Terulas seribu senyum dibibirnya. Kini matanya perlahan-lahan mulai lagi dapat melihat apa yang di lihat oleh mata manusia pada umumnya. Terlihat papa dan mamanya. Tak ketinggalan juga Luci. Tapi kemana Vanny? Bukankah selama ini dia selalu ada di saat apapun kondisinya. Terlihat tanda Tanya besar di raut muka Seila.
“Vanny, ada di hati kita Seil, dia abadi bersama kita” kata Luci seakan mengerti arti tanda tanya yang tersirat di raut muka sahabatnya itu.
“Maksud kamu apa?”
“Mata indah kamu saat ini adalah mata indahnya”
“Mata Vanny? Gak mungkin Luci. Sudah cukup bercandanya, sekarang aku tanya kemana Vanny? Aku pengen ketemu dia, terus kita bercanda bareng deh bertiga.. hhehe”
Tapi bukan jawaban yang diberikan Lucia, melainkan linangan deras air bening dari matanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi Luci? Katakan! aku mohon”
“Vanny sudah pergi ninggalin kita. Jantungnya sudah gak mampu lagi bertahan. Penyakit infeksi jantung telah dia derita semenjak umur 5 tahun. Tapi tak ada satupun orang yang dia beritahu, hanya papa, mama dan kak Lina tentunya”
“Gak mungkin!”
Lucia hanya mampu memeluk erat sahabatnya itu. Tanpa ada kata yang terucap. Hanya air mata yang mampu menjelaskan setiap kata yang ingin ingin terlintas. Sejuta kenangan indah persahabatan mereka melintas begitu saja. Membuat perih hati mereka berdua yang mengingatnya.
***
“Vanny Kartika Rudi”, begitulah tulisan yang kini tertera kuat di batu nisan ini. Batu nisan yang kini tepat berada di depan mata Seila dan Lucia. Air mata tak sanggup untuk mereka bendung. Seakan tak percaya pada kenyataan yang kini ada. Sahabat yang mereka sayangi kini berada di dalam sana. Di tempat dingin yang gelap dan menakutkan.
Perlahan lahan Seila membuka amplop surat yang diberikan Mama Vanny kepadanya. Kemudian membaca isi surat di dalamnya.
Dear Seila & Lucia
Hai sobatku tersayang? Aku sangat menyayangi kalian. Rasanya aku ingin bertahan hidup lebih lama. Kita lalui masa depan kita bersama. Dimana suatu saat kita akan ceritakan indahnya persahabatan kita kepada anak-anak kita. Namun rasanya itu tak mungkin bagiku. Kalian tau? Rasa sakit ini benar-benar telah merusak semua harapan dan impianku.
Seila, kadang aku malu kepadamu. Kamu pintar, cantik lagi. Tak sebanding seperti aku. Kadang aku merasa kamu kurang peduli padaku. Saat aku menangis tak pernah kau coba datang menghampiri dan menanyakan perasaanku. Tapi seiring berjalannya waktu aku coba memahami sikapmu. Aku mencoba melakukan yang terbaik untukmu. Tapi ternyata sikapmu tak pernah berubah kepadaku. Tapi aku mengerti mungkin itulah sikap persahabatanmu, meskipun aku sangat menginginkan perhatian langsung darimu.
Lucia, terima kasih atas segala kebaikanmu. Membiarkan bahumu menjadi sandaran tangisku. Sandaran isi hatiku. Tempat aku mencurahkan sakitku, meski kamu tak tak tau apa yang sebenarnya aku rasakan.
Bagaimanapun kalian, aku sangat menyayangi kalian. Sangat menyayangi. Tak ada perbedaan kalian di hatiku. Kalian menempati posisi yang sama dalam hatiku. Saat aku sudah gak ada lagi, aku ingin kalian berdua melanjutkan masa depan kalian dengan sebaik-baiknya. Raih cita-cita kalian. Karena dari tempatku disisi TUHAN kelak, aku akan dapat melihat dengan pasti apa yang terjadi pada kalian. Aku selalu berdoa yang terbaik untuk kalian berdua, di setiap sujud dan shalatku, di setiap hembusan nafasku dan di setiap waktu yang bergulir tanpaku disisimu lagi. I LOVE YOU.. :*
Vanny
Semakin deras air mata mambasahi pipi Seila dan Lucia. Ada penyesalan mendalam di dalam hati mereka masing-masing. Penyesalan dimana mereka tidak dapat memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya. Penyesalan di mana mereka banyak melukis luka kepada sahabat yang menyayangi mereka dengan tulus. Memberikan yang terbaik yang dia bisa, tanpa meminta balasan yang berlebih, kecuali hanya sebuah perhatian dan ketulusan.
Mereka berjanji, akan melakukan yang terbaik yang mereka bisa. Membalas semua kebaikannya dengan doa. Terutama Seila, yang akan sekuat tenaga menjaga matanya, mata yang penuh dengan ketulusan dan pengorbanan dari sahabatnya, sahabat yang kini telah tiada.
“Sahabat sejati tak akan membiarkan sahabatnya menangis tanpa pernah mendatangi dan merasakan apa yang sahabatnya rasakan. Karena saat sahabat telah pergi, maka saat itulah kita akan mengerti betapa besar pengorbanan dan ketulusan yang diberikan dari seorang sahabat. Karena sahabat ada untuk membagi rasa tidak hanya sebagai tempat persinggahan semata”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar